Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Telah masyhur di dalam kitab-kitab hadits tentang penggambaran agama Islam seperti sebuah bangunan. Sebagaimana tercantum dalam Hadits Arba’in Nawawiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana telah digambarkan di dalam al-Qur’an mengenai keadaan orang munafik yang membangun sebuah bangunan -yaitu masjid- tetapi tidak dilandasi dengan ketakwaan dan keikhlasan. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang menegakkan bangunannya di atas pondasi ketakwaan kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya itu yang lebih baik ataukah orang yang menegakkan pondasi bangunannya di tepi jurang yang runtuh sehingga menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka Jahannam.” (at-Taubah : 109)
Sebuah bangunan hanya akan tegak di atas pondasi yang kuat dan kokoh. Begitu pula agama Islam tidak akan tegak kecuali di atas pondasi ketakwaan dan keimanan yang benar. Seorang mukmin membangun amalnya di atas iman dan keikhlasan sementara orang munafik membangun amalnya di atas kekufuran dan riya’.
Allah berfirman tentang kaum munafik (yang artinya), “Dan sebagian orang ada yang mengatakan ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’ padahal mereka bukanlah kaum beriman. Mereka berusaha mengelabui Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka tidaklah mengelabui kecuali dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari. Dalam hati mereka terdapat penyakit maka Allah pun tambahkan padanya penyakit yang lain…” (al-Baqarah : 8-10)
Kerusakan yang menimpa hati kaum munafik inilah yang meruntuhkan segala amal kebaikan yang mereka tampakkan. Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud penyakit dalam ayat itu adalah keragu-raguan, syubhat dan kemunafikan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 42)
Akibat penyakit yang menjangkiti hati inilah orang menolak kebenaran dan menerima kebatilan, dan demikian itulah karakter yang melekat pada diri orang-orang munafik. Sementara baik buruknya hati menentukan baik buruknya amalan. Oleh sebab itu sudah semestinya seorang insan memperhatikan keadaan hatinya; apakah hatinya sehat atau sakit. Apabila hatinya sedang sakit hendaklah dia bersemangat untuk segera mencari obatnya. Apabila hatinya sehat hendaklah dia memuji Allah atas nikmat itu dan memohon kepada-Nya agar tetap tegar di atasnya. Banyak orang berusaha keras untuk mencari obat bagi penyakit fisik sehingga berupaya mencari pengobatan kepada semua dokter yang bisa ditemui. Akan tetapi anehnya banyak orang tidak perhatian terhadap penyakit hati yang bersarang di dalam dirinya. Padahal penyakit hati lebih berat bahayanya dan lebih mematikan daripada penyakit badan (lihat Ahkam minal Qur’an, 1/86-87)
Apabila seorang hamba bisa menyadari hal ini maka dia akan mengetahui bahwa sesungguhnya musibah yang menimpa hati itu lebih berat dan lebih membahayakan daripada musibah yang menimpa urusan dunia atau badannya. Setiap insan butuh kepada bantuan dan pertolongan Allah di setiap saat dan di mana pun tempat. Dia tidak bisa terlepas dari-Nya walaupun sekejap mata. Lantas bagaimana mungkin dirinya akan bahagia ketika Allah telah berpaling darinya. Dan hal itu tidaklah terjadi kecuali akibat penyimpangan hatinya sendiri. Maka musibah mana kah yang lebih besar daripada hati yang keras dan jauh dari Allah?!
Kebanyakan orang beranggapan bahwa musibah yang menyakitkan itu adalah yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah/materi atau keduniaan saja. Padahal sesungguhnya musibah akibat penyakit hati dan rusaknya nurani lebih dahsyat dan lebih mengerikan daripada musibah akibat perkara-perkara dunia. Bahkan tidak sedikit manusia yang berada dalam keadaan hatinya telah mati sampai-sampai tidak bisa lagi merasakan musibah yang menimpa dirinya berupa kefasikan dan kemaksiatan (lihat Ahkam minal Qur’an, 1/87)
Saudaraku yang dirahmati Allah, hati yang mati adalah hati yang tidak lagi mengenal Allah. Hati yang mati tidak beribadah kepada Allah dengan mengikuti perintah-Nya. Hati yang mati tidak lagi menghamba kepada Allah dengan hal-hal yang diridhai dan dicintai-Nya. Akan tetapi dia justru berhenti tunduk bersama keinginan syahwat dan kesenangannya walaupun hal itu mengakibatkan murka dan kemarahan Allah. Dia tidak lagi peduli apakah Allah ridha atau tidak; yang penting baginya segala keinginan dan ambisinya terpenuhi. Oleh sebab itu sebenarnya dia telah menghamba kepada selain Allah. Cintanya, takutnya, harapnya, ridha dan murkanya, pengagungan dan penghinaan dirinya dia persembahkan kepada selain Allah. Apabila dia mencintai maka hal itu murni karena dorongan hawa nafsunya. Apabila membenci maka hal itu pun semata-mata karena memperturutkan hawa nafsu belaka. Begitu pula ketika memberi atau tidak memberi; semuanya karena motivasi hawa nafsu. Maka hawa nafsu lebih dia utamakan di atas keridhaan Allah, nas’alullahal ‘aafiyah was salamah (lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighotsatul Lahafan, hlm. 17)
Sebagian orang yang arif mengatakan, “Bukankah orang yang sakit apabila terhalang dari makanan dan minuman serta obat-obatan lambat laun akan menjadi mati?” mereka menjawab, “Benar.” Kemudian dia berkata, “Demikian pula hati; apabila ia terhalang dari ilmu dan hikmah selama tiga hari saja niscaya dia akan mati.” Sungguh benar kalimat ini. Sesungguhnya ilmu merupakan makanan, minuman sekaligus obat bagi hati. Kehidupan hati sangat bergantung padanya. Apabila hati kehilangan ilmu ia pun menjadi mati. Akan tetapi seringkali pemiliknya tidak menyadari akan kematian hati, allahul musta’aan (lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hlm. 144-145)
Sesungguhnya kebutuhan hati kepada ilmu sangat mendesak lebih dari kebutuhan tubuh kepada asupan makanan. Tubuh memerlukan asupan makanan dalam sehari sekali atau dua kali sudah cukup. Adapun kebutuhan manusia kepada ilmu sebanyak hembusan nafas. Karena setiap hembusan nafasnya membutuhkan keteguhan iman dan bimbingan hikmah. Apabila ia terlepas dari iman dan hikmah sungguh telah dekat kehancuran dirinya (lihat al-’Ilmu, hlm. 91)
Ilmu tentang Allah merupakan pokok dari seluruh ilmu dan tempat tumbuhnya ilmu-ilmu itu. Barangsiapa mengenal Allah niscaya dia akan mengenali hal-hal selain-Nya. Dan barangsiapa yang bodoh tentang Allah niscaya dia lebih bodoh terhadap selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah maka Allah pun membuat mereka lupa terhadap dirinya sendiri.” (al-Hasyr : 19). Dengan mengenal Allah maka seorang hamba akan dapat membangun kebahagiaan dirinya di dunia dan di akhirat (lihat nukilan dari Ibnul Qayyim dalam Sittu Durar min Ushul Ahlil Atsar karya Syaikh Abdul Malik, hlm. 27)
Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan bahwa maksud ungkapan ‘melupakan Allah’ itu adalah dengan meninggalkan perintah Allah (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 1300). Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, maksud ayat ini adalah ‘jangan kalian melupakan dzikir kepada Allah karena hal itu menjadi sebab Allah membuat kalian lupa dari melakukan amal salih untuk kebaikan kalian di negeri akhirat’. Karena sesungguhnya balasan itu sejenis dengan amalan. Apabila amalannya ‘melupakan’ balasannya juga ‘dilupakan’ (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8/77)
Oleh sebab itulah para ulama menggambarkan kebutuhan hati kepada dzikir seperti kebutuhan seekor ikan kepada air. Sebagaimana ikan menjadi mati ketika tidak ada air, begitu pula hati akan mati ketika lenyap darinya dzikir. Dalilnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan hati yang mengingat Rabbnya dengan hati yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)